Sejak
masyarakat Indonesia mengenal sebuah sistem pemerintahan, sejak itu
pula pluralisme ada di Indonesia. Uniknya, di masa lalu tidak ada
referensi yang menceritakan bahwa pada masa itu terjadi perselisihan
antar umat beragama. Pada kitab-kitab era Nusantara pertengahan, di
masa-masa awal pusat pemerintahan berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa
Timur, nyaris tidak ada kitab yang menunjukkan hal tersebut. Disamping
karena kitab-kitab pada masa itu kebanyakan merupakan gubahan dari dua
induk semang kesusasteraan yang lebih tua, yaitu Ramayana dan Mahabarata.
Kitab Desawarnana atau yang lebih dikenal dengan Negarakertagama pun tidak ada yang menuliskan perselisihan antar umat beragama di masa itu. Negarakertagama
malah mencatat hal yang sebaliknya, dimana penguasa saat itu, Hayam
Wuruk mempersilakan rakyatnya memeluk agama yang mereka sukai. Apalagi Sutasoma,
kitab yang konon berisi sindiran kepada Patih Gajah Mada inipun tidak
memuat hal tersebut, malah memuat sebuah kalimat sakti yang tertulis di
bawah lambang Negara Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika. Presiden Amerika Serikat yang anak Menteng, Barrack Obama menyebut ungkapan tersebut dengan Unity in Diversity.
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, begitu bunyi kalimat yang tertulis di dalam Sutasoma.
Secara umum oleh masyarakat Indonesia diterjemahkan secara bebas
sebagai ‘meskipun berbeda-beda tetap satu jua’. Kalimat yang sangat
jelas bahwa perbedaan merupakan salah satu hal yang harus dihormati.
Perbedaan adalah takdir, sebagaimana halnya kiri-kanan, atas-bawah,
baik-buruk, hitam-putih, surga-neraka, dan hal-hal lain yang berlawanan.
Meskipun tidak semua hal yang berbeda merupakan hal yang berlawanan.
Hanya saja, sebagian masyarakat Indonesia yang merasa terhormat, kerapa
menganggap bahwa yang berbeda dengan mereka bukanlah kawan, terutama
perbedaan dalam berpendapat dan perbedaan partai politik.
Ungkapan
sakti tersebut merupakan ide awal munculnya lima kalimat sakti yang
hanya ada di Indonesia, yang dikenal dengan Pancasila, atau lima dasar.
Hebatnya, Pancasila ini akan terdengar setiap seminggu sekali, oleh
ribuan siswa sekolah, mulai dari siswa Sekolah Dasar sampai siswa
setingkat Sekolah Menengah Atas, pada waktu yang bersamaan, di seluruh
Indonesia! Betapa luar biasa Pancasila ini.
Dengan
fakta tersebut, seharusnya Pancasila telah meresap ke dalam sumsum
setiap rakyat Indonesia, sehingga segala perilaku rakyat Indonesia
adalah perilaku Pancasila, yang menghargai perbedaan sebagai anugrah.
Namun pada kenyataannya, meskipun selama sembilan tahun melafalkan
Pancasila di bawah terik matahari, tetap saja banyak rakyat Indonesia
yang tetap anarkis serta mudah terpancing emosinya. Siapa lagi kalau
bukan petinggi-petinggi Negara yang kadang tak tahu malu berperang di
ruang sidang.
Jika
diibaratkan, Pancasila adalah panglima perang, sementara rakyat
Indonesia adalah pasukannya, maka Pancasila sedang memimpin pasukan
tersebut berperang melawan pasukan Negara-negara asing yang dipimpin
oleh panglima perang bernama Kapitalisme dan Liberalisme, sementara dari
pasukan lain dipimpin oleh panglima perang yang bernama Komunisme.
Semuanya menyerbu Indonesia dan Pancasila. Perjuangan Pancasila semakin
berat karena banyak prajurit-prajurit utamanya tergiur dengan
janji-janji Kapitalis, Liberalis, dan Komunis.
Hasilnya,
masyarakat Indonesia sudah mulai menjadi manusia individualis, tidak
peduli lagi dengan tetangga. Bahkan oleh pemerintah dibuatkan sekat yang
meskipun sempit namun sangat berbahaya, yaitu jalan-jalan tol yang
mengelilingi hampir di semua pulau-pulau utama Indonesia. Jalan tol
menjadi pemisah yang nyata antara masyarakat barat dan timur, ataupun
utara dan selatan. Pasar-pasar modern seperti mall,
menjadikan kurangnya interaksi harmonis antara penjual dan pembeli,
karena tidak ada sistem tawar menawar. Yang dicari hanyalah keuntungan,
baik dari pemilik jalan tol, yang mengharuskan siapapun yang lewat
dikenai biaya. Ataupun pemilik mall, yang telah menetapkan harga barang yang tidak bias ditawar.
Masyarakat Jawa mengenal ungkapan “luwih becik pager mangkok tinimbang pager tembok”, yang bias diterjemahkan secara bebas berarti lebih baik berpagar mangkok daripada berpagar tembok.
Ungkapan tersebut sangat terasa muatan Jawa-nya, yang kerap menggunakan
perlambang untuk menggambarkan sesuatu. Mangkok merupakan wadah
makanan, artinya hiduplah bertetangga dengan saling memberi. Hal itu
lebih baik daripada berpagar tembok yang mengakibatkan kurangnya
interaksi dengan sesama. Ungkapan lain yang juga sangat berbau
filosofis, “tuna sathak bathi sanak”, artinya rugi harta untung saudara.
Pancasila,
tersusun atas dasar perbedaan yang ada di Indonesia. Mulai dari
perbedaan agama, suku atau ras, sampai perbedaan berpendapat, semuanya
terangkum dalam lima kalimat sakti di dalam Pancasila. Karena itulah
sebenarnya tidak ada alasan untuk saling bermusuhan antar masyarakat
Indonesia. Jikalau ada, sebaiknya segera ingat pada Pancasila, karena
Pancasila telah memberi solusi bagi mereka yang berselisih yaitu melalui
jalan musyawarah.
Begitupun
mengenai masalah yang paling sensitif di Indonesia, yaitu masalah agama
dan suku. Seluruh agama mengajarkan kebaikan. Dan Pancasila lagi-lagi
memberi solusi dengan mengingatkan dengan kalimat saktinya, “Ketuhanan
Yang Maha Esa”, dan “Persatuan Indonesia”. Maka sebenarnya sungguh tidak
beralasan ketika sekelompok organisasi saling menyerang atas dasar
agama.
Sebenarnya
untuk memahami Pancasila dibutuhkan usaha yang lebih dari sekedar
mengerti. Pancasila tidak hanya sebuah kalimat yang mempunyai arti, tapi
lebih dari itu, Pancasila mempunyai makna. Dibutuhkan hati dan pikiran
yang jernih untuk memahami Pancasila, karena tidak cukup memahami
Pancasila dengan pikiran belaka. Pancasila harus dirasakan dan
direnungkan.
Pancasila
membutuhkan dukungan rakyat Indonesia untuk menjadi lebih kuat. Yang
perlu dilakukan rakyat Indonesia adalah kembali ke budaya asli
Indonesia, yang pelan namun pasti ditinggalkan oleh masyarakat, dari
pemuda hingga orangtua. Orangtua yang mengajari putra-putrinya sejak
kecil bahasa inggris dan melupakan bahasa daerahnya, itu hanya sedikit
contoh betapa banyak orangtua yang mulai menginginkan anak-anaknya
menjadi orang asing di negeri sendiri. Dengan mengesampingkan suku, ras,
agama ataupun perbedaan pendapat, sudah saatnya rakyat Indonesia
kembali ke budaya asli Indonesia untuk menjadikan banga ini bangsa yang
berakarakter.
Pemerintah
harus bersikap lebih pro kepada kebudayaan asli. Pemerintah harus
mengerti apa itu budaya, karena selama ini pemerintah mengartikan budaya
sebatas pada seni, padahal seni bersama-sama dengan tradisi dan religi
adalah unsur pembentuk budaya itu sendiri. Budaya adalah perilaku,
perilaku tentang cipta, rasa, dan karsa manusia sebagai makhluk Tuhan.
Itulah budaya. Pemerintah yang studi banding ke luar negeri dengan dalih
belajar, adalah pemerintah yang tersesat, karena kebudayaan luar negeri
tidak cocok diterapkan di Indonesia yang beraneka ragam. Sudah saatnya
Pancasila bangkit, melindungi rakyat Indonesia dari perpecahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar