8 Maret 2012

Nabi Khidir yang Misterius, Samar dan Hijau

Sangat sulit untuk menemukan literatur atau artikel yang membahas secara khusus mengenai Nabi Khidir, baik di majalah-majalah ataupun di dunia maya. Satu-satunya sumber otentik adalah kisahnya mengenai Nabi Musa yang menjadi murid Nabi Khidir, yang tertulis di dalam Kitab Suci Al-Qur’an. Dikisahkan bahwa kemudian Nabi Musa tidak sanggup menerima ajaran Nabi Khidir yang sulit dipahami oleh akal sehat, seperti ketika Nabi Khidir membunuh seorang bocah, melubangi sebuah kapal sehingga tenggelam, dll.
Di dalam masyarakat Jawa, ada sebuah kepercayaan bahwa Nabi Khidir masih hidup hingga saat ini, bahkan ada yang pernah mengaku bertemu dengan beliau (hanya Allah yang tahu), salah satunya menurut cerita, Sunan Kalijogo juga pernah bertemu dengan Nabi Khidir. Setelah beberapa waktu mencari, lewat sebuah buku kecil yang tidak mengisahkan tentang nabi ataupun rasul, saya menemukan sebuah tulisan singkat mengenai Nabi Khidir. Tulisan ini mengenai riwayatnya yang seadanya, dan kunjungannya ke rumah Nabi Muhammad SAW, tidak lama setelah Nabi Muhammad SAW meninggal dunia.
Diceritakan bahwa Nabi Khidir lahir sebagai keturunan bangsawan, pada masa Nabi Zulkarnain AS. Ia lahir dengan sendok perak di mulutnya (dua kemungkinan: (1)hal ini seperti sebuah perumpamaan, karena beliau seorang bangsawan, maka secara otomatis dalam hal makanan ia tercukupi, atau (2)beliau benar-benar lahir dengan sendok perak di mulutnya), dan singgasana megah yang juga dari emas. Namun seperti nabi-nabi lain yang gelisah, Nabi Khidir juga mulai merasakan sesuatu yang tak beres, yang mengakibatkannya memulai sebuah pencarian. Pencarian tersebut akhirnya berujung pada Tuhan, sama seperti Nabi Ibrahim AS pada awalnya, yang mencari Tuhan. Nabi Khidir pertama kali ‘melihat’ Tuhan pada makhluk-makhluk ciptaan-Nya: langit dan bumi beserta isinya.
Dengan izin Allah, akhirnya Nabi Khidir pun mendapat ilmu pengetahuan langsung dari sisi Allah SWT, yang mampu menahannya dari kematian hingga hari ini. Beliau pun dapat sesuka hati pergi kemanapun beliau suka, menembus ruang dan waktu. Sekilas kisahnya memang seperti film-film fiksi buatan Hollywood, namun itu semua bukanlah fiksi, tapi kenyataan dari seorang utusan Allah SWT. Nabi Khidir adalah nabi yang diutus untuk menguji nabi lainnya. Tercatat Nabi Zulkarnain AS dan Nabi Musa AS, dua orang rasul yang diuji oleh seorang Nabi Khidir.
Akan tetapi, kisahnya bersama Nabi Zulkarnain sangat sulit ditemukan, sesulit mencari dimana rumahnya, dimana ia berada saat ini, bagaimana wujudnya, atau rahasia-rahasia lainnya. Yang mudah diketahui dari Nabi Khidir adalah hijau (khidir=hijau), dimana hijau seringkali digunakan untuk melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan.
Kemudian seperti yang tertulis di awal, bahwa terakhir kali muncul di depan rumah Nabi Muhammad SAW sesaat setelah beliau meninggal (bayangkan jarak waktu antara Nabi Musa AS dan Nabi Zulkarnain AS dan Nabi Muhammad SAW), dan mengucapkan bela sungkawa pada keluarga Nabi SAW; Ali, Fatimah, Hasan dan Husein. Tercatat bahwa Nabi Khidir AS mengucapkan sesuatu yang berbunyi,
“Salam atas kalian, wahai Ahlul Bait Nabi ….Sungguh, Allah memberikan pengganti dari setiap yang meninggal, pelipur lara dari setiap musibah, dan susulan dari setiap yang hilang. Maka, berserah dirilah kalian kepada-Nya dan percayalah sepenuhnya kepada-Nya. Semoga kalian sudi memohonkan ampunan untukku.”
Tidak hanya itu, Ali, sahabat sekaligus menantu Nabi SAW juga mewariskan sebuah do’a dari Nabi Khidir. Ali mengajarkannya kepada muridnya, Kumail bin Ziyad, yang kemudian do’a ini konon menjadi do’a wajib bagi tentara Hizbullah. Kekuatan do’a ini sungguh besar. Hizbullah bukanlah tentara yang terlatih untuk perang, mereka hanyalah orang-orang yang ingin mempertahankan tanah airnya, namun mereka sanggup memenangkan pertempuran dengan Israel pada tahun 2006. Do’a ini kemudian dikenal dengan Do’a Kumail, yang juga membuat seorang filsuf kenamaan Prancis menangis ketika membaca do’a ini (dari buku “Menyerap Energi Ketuhanan” karangan Musa Kazhim dan Alfian Hamzah, dengan sedikit modifikasi).

Tidak ada komentar: