Sejarah adalah sesuatu yang samar, bahkan sampai saat ini baru sebagian kecil yang telah diketahui. Sejarah tersebut tersamar oleh legenda-legenda, cerita-cerita, ataupun dongeng yang berkembang di masyarakat. Cerita-cerita tutur tersebut mampu membentuk suatu pengertian atau pemahaman, tanpa diketahui benar atau salah. Akibatnya, legenda atau cerita tersebut mendarah daging ketika orangtua menceritakan pada anak-anaknya, ataupun guru kepada siswanya.
Di Indonesia sendiri terdapat beberapa legenda yang terkenal, seperti Malin Kundang, Legenda Roro Jonggrang, dll.
Cerita-cerita tersebut mampu menghibur serta memberi pembelajaran pada
masyarakat tentang hubungan antar sesama manusia. Meskipun begitu,
dengan alur cerita seperti itu, akan sulit bagi masyarakat untuk
mempelajari sejarah, kenyataan yang pernah terjadi.
Cerita-cerita tutur yang banyak berkembang di masyarakat kebanyakan sudah berbelok, artinya sudah jauh dari kisah sesungguhnya, dengan campur tangan beberapa pihak. Contoh yang paling mencolok adalah kisah tentang Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Mangir Wonoboyo. Dua kisah tersebut sangat dikenal oleh sebagian masyarakat Jawa. Yang pertama dikatakan sebagai wali yang mempunyai paham menyimpang yang dikenal dengan sebutan “Manunggaling Kawula Gusti”, sedang yang kedua adalah tokoh yang dikenal karena perseteruannya dengan Panembahan Senopati, Raja Mataram.
Dalam perkembangannya, cerita tentang Syekh Siti Jenar yang dikatakan sebagai wali yang menyimpang mendapat perhatian yang cukup serius. Secara logika, meskipun cerita-cerita tentang wali banyak dihiasi keajaiban serta karomah-karomah, akan tetapi ketika manusia yang tercipta dari seekor cacing, kemudian mati dengan wujud seekor anjing, sungguh tidak masuk diakal. Semakin janggal ketika mayoritas wali yang ada di Jawa merupakan Ahlul Bait, membunuh seorang Ahlul Bait lainnya. Kemungkinan yang terjadi adalah, peranan penjajah kolonial Belanda sangat besar. Konsep-konsep pembagian strata dalam agama Islam, yang dibuat seperti tingkatan-tingkatan dalam agama Hindu juga merupakan usaha untuk memecah belah masyarakat. Priyayi, Santri, serta Abangan, yang populer di kalangan masyarakat tidak lebih merupakan usaha adu domba.
Kemudian, legenda tentang Ki Ageng Mangir, yang berselisih dengan Panembahan Senopati, serta kuburannya yang terpisah, separuh di dalam separuh di luar kompleks makam sangat populer di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Yogyakarta. Satu yang mungkin belum diketahui oleh masyarakat adalah, bahwa Desa Mangir adalah daerah perdikan, yang bebas dari campur tangan pihak yang berkuasa. Desa Mangir adalah sebuah desa yang terletak di pinggir pertemuan dua sungai, Progo dan Bedog, di sebelah utara barat kota Yogyakarta. Desa tersebut merupakan daerah tua yang pertama kali dipimpin oleh Raden Alembu Amisani, atau Raden Megatsari, atau Ki Ageng Mangir I, salah seorang putra Brawijaya yang ke-43 dari 117 bersaudara (Babad Tanah Jawi). Kemudian keturunan kedua bergelar Ki Ageng Mangir II, atau Ki Ageng Wanabaya I, sampai yang paling terkenal Ki Ageng Mangir IV, atau Ki Ageng Wanabaya III.
Sebagai daerah perdikan, tentu saja terdapat penolakan ketika tiba-tiba utusan dari suatu pihak yang berkuasa meminta untuk patuh dan tunduk. Sebagai pemimpin, Ki Ageng Wanabaya III mempunyai pendirian yang teguh. Ia juga mematuhi leluhurnya yang telah mewariskan daerah itu kepadanya. Hal itulah yang menyebabkan timbulnya pengertian membangkang, sampai akhirnya Panembahan Senopati memperoleh cara untuk menaklukkannya, yaitu dengan menikahkan putrinya dengan Ki Ageng Wanabaya III.
Cerita mengenai saat-saat boyongan dari Mangir ke Mataram merupakan sebuah kisah yang dramatis, hanya sayang tidak banyak masyarakat yang mengetahuinya. Kisah ini dapat dibaca dalam Babad Mangir. Dalam adegan ini pulalah kata BANTUL berasal, karena banyaknya EMBAN yang membawa uba rampe serta srah-srahan dengan cara dipikul yang MENTUL-MENTUL. Itulah asal dari kata BANTUL, yang kini menjadi salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, emBAN dan menTUL (Ki Ageng Mangir, Cikal Bakal Desa Tertua di Bantul, Komunitas Projotamansari Bantul, 2010) .
Jika dirunut lebih jauh lagi, Panembahan Senopati dan Ki Ageng Mangir masih bersaudara. Dalam Babad Tanah Jawi, diceritakan bahwa Prabu Brawijaya berputra 117, diantaranya Raden Bondan Kejawan, yang berputra Ki Ageng Getaspendawa, yang menurunkan Ki Ageng Sela sampai Ki Ageng Pemanahan kemudian Danang Sutawijaya (Panembahan Senopati). Sementara Ki Ageng Mangir I yang menurunkan Ki Ageng Wanabaya III, merupakan keturunan Brawijaya ke-43.
Diceritakan juga bahwa Ki Ageng Wanabaya III merupakan tokoh yang sakti, maka tidak akan semudah itu Panembahan Senopati membunuhnya dengan cara membenturkan kepalanya ke tempat duduknya. Penyanggahan bahwa terjadi pembangkangan juga muncul dari masyarakat Desa Mangir. Bahkan komunitas Projotamansari Bantul belum lama ini telah menerbitkan sebuah buku berjudul “Ki Ageng Mangir, Cikal Bakal Desa Tertua di Bantul” dengan pengantar Pak Damardjati Supadjar, dosen UGM. Dalam buku tersebut banyak penyanggahan-penyanggahan terhadap tuduhan bahwa Ki Ageng Mangir merupakan pembangkang, dengan cerita-cerita yang menyertainya.
Kenapa cerita yang indah tersebut bisa menjadi sebuah cerita pembangkangan terhadap penguasa, tentu saja campur tangan dari pihak luar yang tidak menginginkan masyarakat Mataram-Mangir guyub, karena guyub adalah sikap yang sulit dikalahkan, dan masyarakat Jawa terkenal salah satunya karena ke-guyuban-nya.
Oleh karena itu, janganlah langsung mempercayai legenda. Ambillah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, namun jangan menelan mentah-mentah tanpa pemikiran terlebih dahulu. Memang legenda merupakan sarana yang baik untuk memperkenalkan sejarah, namun sampaikanlah secara perlahan, kemudian perlahan-lahan sampaikanlah cerita yang sebenarnya. Akhirnya, sejarah akan selalu menarik untuk dipelajari untuk menguak kabut yang menutupinya.
Cerita-cerita tutur yang banyak berkembang di masyarakat kebanyakan sudah berbelok, artinya sudah jauh dari kisah sesungguhnya, dengan campur tangan beberapa pihak. Contoh yang paling mencolok adalah kisah tentang Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Mangir Wonoboyo. Dua kisah tersebut sangat dikenal oleh sebagian masyarakat Jawa. Yang pertama dikatakan sebagai wali yang mempunyai paham menyimpang yang dikenal dengan sebutan “Manunggaling Kawula Gusti”, sedang yang kedua adalah tokoh yang dikenal karena perseteruannya dengan Panembahan Senopati, Raja Mataram.
Dalam perkembangannya, cerita tentang Syekh Siti Jenar yang dikatakan sebagai wali yang menyimpang mendapat perhatian yang cukup serius. Secara logika, meskipun cerita-cerita tentang wali banyak dihiasi keajaiban serta karomah-karomah, akan tetapi ketika manusia yang tercipta dari seekor cacing, kemudian mati dengan wujud seekor anjing, sungguh tidak masuk diakal. Semakin janggal ketika mayoritas wali yang ada di Jawa merupakan Ahlul Bait, membunuh seorang Ahlul Bait lainnya. Kemungkinan yang terjadi adalah, peranan penjajah kolonial Belanda sangat besar. Konsep-konsep pembagian strata dalam agama Islam, yang dibuat seperti tingkatan-tingkatan dalam agama Hindu juga merupakan usaha untuk memecah belah masyarakat. Priyayi, Santri, serta Abangan, yang populer di kalangan masyarakat tidak lebih merupakan usaha adu domba.
Kemudian, legenda tentang Ki Ageng Mangir, yang berselisih dengan Panembahan Senopati, serta kuburannya yang terpisah, separuh di dalam separuh di luar kompleks makam sangat populer di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Yogyakarta. Satu yang mungkin belum diketahui oleh masyarakat adalah, bahwa Desa Mangir adalah daerah perdikan, yang bebas dari campur tangan pihak yang berkuasa. Desa Mangir adalah sebuah desa yang terletak di pinggir pertemuan dua sungai, Progo dan Bedog, di sebelah utara barat kota Yogyakarta. Desa tersebut merupakan daerah tua yang pertama kali dipimpin oleh Raden Alembu Amisani, atau Raden Megatsari, atau Ki Ageng Mangir I, salah seorang putra Brawijaya yang ke-43 dari 117 bersaudara (Babad Tanah Jawi). Kemudian keturunan kedua bergelar Ki Ageng Mangir II, atau Ki Ageng Wanabaya I, sampai yang paling terkenal Ki Ageng Mangir IV, atau Ki Ageng Wanabaya III.
Sebagai daerah perdikan, tentu saja terdapat penolakan ketika tiba-tiba utusan dari suatu pihak yang berkuasa meminta untuk patuh dan tunduk. Sebagai pemimpin, Ki Ageng Wanabaya III mempunyai pendirian yang teguh. Ia juga mematuhi leluhurnya yang telah mewariskan daerah itu kepadanya. Hal itulah yang menyebabkan timbulnya pengertian membangkang, sampai akhirnya Panembahan Senopati memperoleh cara untuk menaklukkannya, yaitu dengan menikahkan putrinya dengan Ki Ageng Wanabaya III.
Cerita mengenai saat-saat boyongan dari Mangir ke Mataram merupakan sebuah kisah yang dramatis, hanya sayang tidak banyak masyarakat yang mengetahuinya. Kisah ini dapat dibaca dalam Babad Mangir. Dalam adegan ini pulalah kata BANTUL berasal, karena banyaknya EMBAN yang membawa uba rampe serta srah-srahan dengan cara dipikul yang MENTUL-MENTUL. Itulah asal dari kata BANTUL, yang kini menjadi salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, emBAN dan menTUL (Ki Ageng Mangir, Cikal Bakal Desa Tertua di Bantul, Komunitas Projotamansari Bantul, 2010) .
Jika dirunut lebih jauh lagi, Panembahan Senopati dan Ki Ageng Mangir masih bersaudara. Dalam Babad Tanah Jawi, diceritakan bahwa Prabu Brawijaya berputra 117, diantaranya Raden Bondan Kejawan, yang berputra Ki Ageng Getaspendawa, yang menurunkan Ki Ageng Sela sampai Ki Ageng Pemanahan kemudian Danang Sutawijaya (Panembahan Senopati). Sementara Ki Ageng Mangir I yang menurunkan Ki Ageng Wanabaya III, merupakan keturunan Brawijaya ke-43.
Diceritakan juga bahwa Ki Ageng Wanabaya III merupakan tokoh yang sakti, maka tidak akan semudah itu Panembahan Senopati membunuhnya dengan cara membenturkan kepalanya ke tempat duduknya. Penyanggahan bahwa terjadi pembangkangan juga muncul dari masyarakat Desa Mangir. Bahkan komunitas Projotamansari Bantul belum lama ini telah menerbitkan sebuah buku berjudul “Ki Ageng Mangir, Cikal Bakal Desa Tertua di Bantul” dengan pengantar Pak Damardjati Supadjar, dosen UGM. Dalam buku tersebut banyak penyanggahan-penyanggahan terhadap tuduhan bahwa Ki Ageng Mangir merupakan pembangkang, dengan cerita-cerita yang menyertainya.
Kenapa cerita yang indah tersebut bisa menjadi sebuah cerita pembangkangan terhadap penguasa, tentu saja campur tangan dari pihak luar yang tidak menginginkan masyarakat Mataram-Mangir guyub, karena guyub adalah sikap yang sulit dikalahkan, dan masyarakat Jawa terkenal salah satunya karena ke-guyuban-nya.
Oleh karena itu, janganlah langsung mempercayai legenda. Ambillah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, namun jangan menelan mentah-mentah tanpa pemikiran terlebih dahulu. Memang legenda merupakan sarana yang baik untuk memperkenalkan sejarah, namun sampaikanlah secara perlahan, kemudian perlahan-lahan sampaikanlah cerita yang sebenarnya. Akhirnya, sejarah akan selalu menarik untuk dipelajari untuk menguak kabut yang menutupinya.
Biografi Syekh Siti Jenar
Pada
Kesempatan kali ini akan dibahas mengenai Biografi atau Asal usul tokoh
Kontroversial Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar atau dikenal juga dengan nama
Syekh Lemahbang ternyata adalah keturunan dari penghulu Islam Nabi Muhammad SAW (lihat
silsilahnya pada akhir tulisan ini).
Syekh Siti Jenar
adalah tokoh kontroversial sekaligus legendaris dalam sejarah Islam di Jawa,
karena Ajarannya dianggap sesat oleh pemguasa Demak dan mitos kesaktian yang
dimilikinya. Syekh Siti Jenar
diperkirakan lahir sekitar tahun 1426 M. Silsilah Syekh Siti Jenar sangat
kabur. Kekurang jelasan asal-usul ini juga sama dgn kegelapan tahun kehidupan
Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah yang penuh misteri dan kontroversial.
Syekh Siti Jenar |
Pengaburan tentang
silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan oleh penguasa Demak beserta
Ulama yang pro penguasa (Wali Sanga)
Pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk
“mengubur” segala yg ada Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat
yg mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu
itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti
Jenar berasal dari cacing.
Dalam sebuah naskah
klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas. Dalam
Kitab atau yang disebut Serat Candhakipun, tertulis sebagai berikut (diartikan
dalam bahasa Indonesia):
"Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang"
Jadi Syekh Siti
Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal dari kalangan
bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu,
dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai
wali penyebar Islam di Tanah Jawa.
Syekh Siti Jenar yg
memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil
adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa
‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh
Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh
‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan
‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yg berasal dari Handramaut. Qazam adalah
sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.
Syekh ‘Abdul Malik
adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal
Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke
berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah
penyebar agama Islam yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika
diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin
‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yg ada, diketahui pula
bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat
yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah
Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi
penyebar agama Islam di sana.
Adapun Syekh Maulana
‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka.
Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh
Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama
sunni asal Malaka yg kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di
Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M,
masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar
Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dengan
sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.
Pada akhir tahun
1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh
Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini,
sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa
lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh
Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada
tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.
Sejak itulah San Ali
atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki
Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon, dibawah
asuhan Syekh datuk Kahfi.
Jadi walaupun San
Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun
sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yg saat itu menjadi
sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas perdagangan
dunia waktu itu.
Saat itu Cirebon dengan
Padepokan Giri Amparan Jatinya yg diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan
Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran
Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun,
San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dgn sepenuh hati, disertai dgn
pendidikan otodidak bidang spiritual.
Silsilah Syekh Siti
Jenar
- Syekh Siti Jenar
- Datuk Shaleh
- Sayyid Abdul Malik
- Sayyid Syaikh Husain Jamaluddin
- Sayyid Ahmad Shah Jalal
- Sayyid Abdullah Azhmat Khan
- Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir Azhmat Khan
- Sayyid Alawi Ammil Faqih
- Muhammad Sohib Mirbath
- Sayyid Ali Kholi’ Qosim
- Sayyid Alawi Ats-Tsani
- Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah
- Sayyid Alawi Awwah
- Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah
- Ahmad al-Muhajir
- Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi
- Sayyid Muhammad An-Naqib
- Sayyid Al-Imam Ali Uradhi
- Sayyidina Ja’far As-Sodiq
- Sayyidina Muhammad Al Baqir
- Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidi
- Al-Imam Sayyidina Hussain
- Fatimah Az-Zahra
- Nabi Muhammad SAW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar